Berbohong Saat Puasa


Mentari Ramadan bersinar terik, menyengat kulit. Andi duduk termenung di teras rumah, perutnya keroncongan. Teman-temannya asyik bermain bola di lapangan, tawanya terdengar riang.

"Andi, kamu nggak ikut main?" tanya Budi, sahabatnya.

"Nggak, aku lagi puasa," jawab Andi, padahal sejak tadi pagi ia sudah menghabiskan sebungkus nasi uduk.

Budi mengangguk, lalu berlari menyusul teman-temannya. Andi menghela napas, merasa bersalah. Ia tahu berbohong saat puasa itu tidak baik, tapi ia malu mengakui kalau sudah batal puasa.

Siang harinya, Andi diajak ibunya ke pasar. Di sana, ia melihat seorang kakek tua yang berjualan kurma. Kakek itu terlihat lelah dan kurus, tapi senyumnya tetap mengembang.

"Nak, ini kurma enak sekali, manisnya alami," kata kakek itu.

Andi tertegun. Ia teringat kebohongannya tadi pagi. Ia merasa malu pada kakek itu, yang tetap jujur meski hidupnya susah.

"Bu, bolehkah kita beli kurma ini?" tanya Andi.

Ibunya tersenyum, lalu membeli beberapa bungkus kurma. Andi memberikan sebagian kurma itu kepada kakek tua, dan sebagian lagi ia bawa pulang.

Saat berbuka puasa, Andi tidak sabar mencicipi kurma yang ia beli. Rasanya manis dan segar, tapi yang lebih manis adalah perasaan lega di hatinya. Ia berjanji pada diri sendiri, tidak akan berbohong lagi, apalagi saat puasa.

Sejak hari itu, Andi belajar untuk jujur, meski itu sulit. Ia tahu, kejujuran adalah kunci kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.