Rimpu Dou Mbojo: Kain Biasa yang Menjadi Cerita Luar Biasa

Rimpu Dou Mbojo: Kain Biasa yang Menjadi Cerita Luar Biasa
Bayangkan selembar kain sarung. Biasa saja, bukan? Tapi di tanah Bima, Nusa Tenggara Barat, kain itu bisa berubah menjadi simbol kekuatan, kehormatan, bahkan identitas. Itulah Rimpu, busana adat perempuan Bima (Dou Mbojo) yang tak hanya membungkus tubuh, tapi juga membungkus nilai, sejarah, dan rasa bangga.
Rimpu bukan sekadar cara berpakaian—ia adalah bahasa diam perempuan Bima. Saat seorang gadis mengenakan rimpu mpida, yang hanya menampakkan sepasang mata dari balik tembe nggoli (kain khas Bima), ia sedang berbicara tentang kesucian, kehati-hatian, dan kehormatan. Sementara perempuan yang sudah menikah mengenakan rimpu colo, memperlihatkan wajahnya tapi tetap dalam balutan kesantunan. Di balik cara melilit kain, tersimpan pelajaran tentang bagaimana perempuan Bima menjaga harga dirinya di tengah zaman yang terus berubah.
Menariknya, rimpu kini bukan sekadar peninggalan nenek moyang yang dipakai saat acara adat. Ia menjelma tren yang membanggakan. Rimpu tampil di jalan-jalan kota, pawai budaya, hingga media sosial. Remaja Bima dengan bangga memakainya sambil menari, membaca puisi, atau sekadar berfoto. Ini bukan nostalgia. Ini adalah bentuk cinta—cinta pada akar, pada tanah kelahiran, dan pada jati diri.
Rimpu adalah bukti bahwa tradisi tak harus tua, dan budaya tak harus kaku. Ia bisa tumbuh, menyesuaikan zaman, namun tetap kuat berdiri pada nilai dasarnya. Maka, ketika seorang Dou Mbojo melangkah anggun dengan rimpu, ia tak hanya mengenakan kain. Ia sedang membawa warisan, sekaligus merajut masa depan. (Tim)