Menimbang Kata, Meraih Kemuliaan: Hikmah Berbicara Baik atau Diam

Menimbang Kata, Meraih Kemuliaan: Hikmah Berbicara Baik atau Diam
Dalam kehidupan sosial, lidah adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat untuk membangun jembatan persahabatan, menyebarkan kebaikan, dan menenangkan hati yang gundah. Namun, tanpa kendali dan kebijaksanaan, lidah juga dapat menjadi sumber perpecahan, menyebarkan fitnah, dan melukai perasaan sesama. Ajaran agama kita dengan indah merangkum prinsip ini dalam sebuah tuntunan yang sederhana namun mendalam: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka berkatalah yang baik atau diam."
Hadis ini bukan sekadar anjuran etika, melainkan cerminan dari keimanan yang sesungguhnya. Mengaitkan perkataan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhirat memberikan dimensi spiritual yang kuat pada tindakan berbicara. Seseorang yang benar-benar yakin akan keberadaan Allah yang Maha Mengetahui segala ucapan dan perbuatan, serta percaya akan adanya hari perhitungan di mana setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban, akan lebih berhati-hati dalam bertutur kata.
Berkata Baik: Pilar Interaksi Positif: "Berkata yang baik" mencakup spektrum makna yang luas. Ini berarti mengucapkan kata-kata yang benar, jujur, sopan, bermanfaat, dan membangun. Berkata baik adalah tentang menyampaikan kebenaran dengan hikmah, memberikan nasihat dengan kasih sayang, menenangkan hati yang berduka, memotivasi orang lain untuk berbuat baik, dan menjaga lisan dari perkataan yang menyakitkan, merendahkan, atau mencemarkan nama baik.
Ketika kita memilih untuk berkata baik, kita menciptakan lingkungan sosial yang positif dan harmonis. Kata-kata yang baik membangun kepercayaan, mempererat tali persaudaraan, dan menumbuhkan rasa saling menghormati. Ia adalah investasi kebaikan yang akan berbuah manis dalam hubungan kita dengan sesama.
Diam: Benteng dari Kejelekan: Pilihan kedua yang ditawarkan hadis ini adalah diam. Diam di sini bukanlah sikap pasif atau acuh tak acuh, melainkan pilihan bijak untuk menahan diri dari perkataan yang buruk, sia-sia, atau berpotensi menimbulkan mudharat. Diam menjadi benteng yang kokoh untuk melindungi diri dari dosa lisan, seperti berbohong, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), mencela, atau mengucapkan kata-kata kotor.
Diam yang tepat waktu adalah manifestasi dari pengendalian diri dan kedewasaan spiritual. Seseorang yang mampu menahan lisannya ketika emosi sedang bergejolak atau ketika godaan untuk bergosip menghampiri, menunjukkan kekuatan iman dan kesadarannya akan tanggung jawab atas setiap ucapan.
Keseimbangan Antara Bicara dan Diam: Hadis ini tidak melarang kita untuk berbicara sama sekali. Ia mengajarkan tentang prioritas dan kebijaksanaan dalam memilih kata. Jika kita tidak yakin bahwa apa yang akan kita ucapkan adalah baik atau bermanfaat, maka diam adalah pilihan yang lebih selamat. Ini adalah latihan untuk berpikir sebelum berbicara, menimbang manfaat dan mudharat dari setiap kata yang akan keluar dari mulut kita.
Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari: Tuntunan ini sangat relevan dalam setiap aspek kehidupan kita, baik dalam interaksi keluarga, pertemanan, lingkungan kerja, maupun di dunia maya. Di era media sosial yang penuh dengan komentar dan opini, prinsip "berkata baik atau diam" menjadi semakin penting untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian, berita bohong (hoax), dan perpecahan.
Kesimpulan: Hadis tentang "berkata baik atau diam" adalah panduan emas bagi setiap Muslim dalam menjaga lisannya. Ia mengajarkan bahwa kualitas perkataan kita adalah cerminan dari keimanan kita kepada Allah dan keyakinan akan hari akhirat. Dengan membiasakan diri untuk selalu memilih kata-kata yang baik dan menahan diri dari perkataan yang buruk, kita tidak hanya menjaga diri dari dosa, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih beradab, harmonis, dan penuh kasih sayang. Mari kita jadikan setiap ucapan kita sebagai amalan kebaikan yang akan memberatkan timbangan pahala kita di hari perhitungan kelak. (TM)