Pilihan di Persimpangan Jalan

Pilihan di Persimpangan Jalan
Langit sore di Bima mulai memerah, secerah harapan yang kini justru terasa membebani hati Adi. Di tangannya, selembar kertas pengumuman hasil ujian SD Negeri 1 Bima seperti memancarkan aura ganda: kelegaan karena lulus, tapi juga kebingungan yang makin menjadi. "Lulus," gumamnya pelan, namun senyumnya tak selebar biasanya. Ia duduk di teras rumah, memandangi jalanan yang ramai dengan anak-anak bermain bola, sementara pikirannya melayang jauh.
Seminggu ini, hanya ada satu topik yang menghantui obrolan di rumah, di warung Bu Minah, bahkan di grup WhatsApp teman-teman sekelasnya: mau lanjut ke SMP mana? Bagi sebagian teman, pilihan itu jelas. Rendi, si juara kelas, sudah pasti ke SMP 2, sekolah favorit dengan prestasi akademik mentereng. Lisa, dengan bakat seninya yang luar biasa, berencana ke SMP 4 yang terkenal dengan ekstrakurikuler musiknya. Lalu ada Budi, yang keluarganya turun-temurun bersekolah di SMP 1. Tapi Adi? Ia seperti berdiri di persimpangan jalan tanpa peta.
"Adi, bagaimana? Sudah mantap ke SMP 3?" tanya Ibu suatu malam, saat mereka makan malam. Ibu sebenarnya lebih sreg kalau Adi ke SMP 3. Katanya, tidak terlalu jauh dari rumah, dan ada beberapa guru SD yang juga mengajar di sana. "Lagipula, SMP 3 itu sekolahnya bagus, lingkungannya nyaman," tambah Ibu, mencoba meyakinkan. Adi hanya mengangguk pelan, tanpa benar-benar yakin. Dalam hatinya, ia membayangkan ruang kelas SMP 3 yang pernah ia kunjungi saat acara pentas seni, terlihat biasa saja.
Beberapa hari kemudian, Bapak datang dengan ide lain. "Gimana kalau kamu coba daftar ke SMP 5, Di? Sekolah baru, fasilitasnya katanya modern. Siapa tahu bisa lebih berkembang di sana," usul Bapak. Mata Adi sedikit berbinar saat mendengar kata "modern." Ia membayangkan laboratorium komputer baru atau lapangan olahraga yang luas. Tapi kemudian, kekhawatiran muncul: bagaimana jika ia tidak mengenal siapa pun? Bagaimana jika ia tidak bisa beradaptasi? Keinginan untuk mencoba hal baru beradu dengan rasa aman dan familiar.
Malam itu, Adi mengambil buku catatannya. Ia menuliskan pro dan kontra setiap sekolah. SMP 1: dekat, banyak teman SD yang juga ke sana, tapi takut membosankan. SMP 2: bergengsi, tapi khawatir tak bisa bersaing. SMP 3: pilihan Ibu, nyaman, tapi terasa kurang menantang. SMP 4: ada ekskul menarik, tapi ia tak yakin minatnya di seni. SMP 5: modern, prospek bagus, tapi asing dan jauh dari teman lama. Semakin banyak ia menulis, semakin bingung kepalanya. Ia merasa seperti seorang penjelajah yang tersesat di tengah hutan pilihan. "Kenapa memilih sekolah saja serumit ini?" keluhnya pada boneka beruangnya.
Keesokan harinya, saat istirahat mengaji di masjid dekat rumah, Pak Ustadz Yusuf melihat Adi termenung. "Ada apa, nak? Wajahmu terlihat murung," tanya Pak Ustadz lembut. Adi menceritakan kebingungannya. Pak Ustadz tersenyum. "Adi, setiap pilihan punya jalannya sendiri. Yang terpenting bukan seberapa populer atau megahnya sekolah itu, tapi seberapa besar kamu mau belajar dan memanfaatkan kesempatan di sana. Tidak ada sekolah yang sempurna. Yang sempurna adalah niatmu untuk menuntut ilmu."
Kata-kata Pak Ustadz seperti embun pagi yang menyegarkan. Adi menyadari, ia terlalu sibuk memikirkan "mana yang terbaik" dari sudut pandang orang lain atau citra sekolah, bukan "mana yang terbaik untuk diriku" dan niatnya sendiri. Ia mulai berpikir tentang apa yang sebenarnya ia inginkan: lingkungan yang mendukungnya untuk belajar hal baru, tempat ia bisa nyaman menjadi dirinya sendiri, dan sekolah yang bisa membantunya meraih cita-cita.
Pulang dari mengaji, Adi merasa sedikit lebih ringan. Ia masih belum memutuskan, tapi arahnya kini lebih jelas. Ia akan berbicara lagi dengan kedua orang tuanya, kali ini dengan sudut pandang yang berbeda. Ia akan mencari tahu lebih banyak tentang kegiatan ekstrakurikuler dan lingkungan belajar, bukan hanya peringkat atau fasilitas fisik. Adi tahu, pilihan ini ada di tangannya, dan ia siap menjemput perjalanan barunya, apa pun nama sekolah di gerbang depan nanti. Yang terpenting, ia akan melangkah maju dengan hati yang lebih tenang dan niat yang kuat untuk belajar.
By : Tim Website Spenlim